Minggu, 08 Mei 2016

MENGENAL LEBIH JAUH, PROYEK TOL LAUT INDONESIA



Laut dan darat adalah dua hal yang berbeda dan saling memisahkan. Laut memisahkan daratan Indonesia adalah perspektif umum yang terbangun di masyarakat. Pernahkah kita memandang bahwa laut adalah pemersatu daratan? Menjadikan Indonesia satu kesatuan negara dengan laut sebagai pengikat daratannya.
Pemahaman tersebut yang memunculkan gagasan tentang tol laut, untuk menegaskan kembali Indonesia sebagai bangsa maritim. Tol laut yang dimaksud adalah membangun transportasi laut dengan kapal atau sistem logistik kelautan, yang melayani tanpa henti dari Sabang hingga Merauke.
Sebuah artikel menarik dari http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/05/pelabuhan-tol-laut-sebabkan-jatuhnya-harga-impor-benarkah

 
Pemerintah diminta untuk kembali menilik lokasi-lokasi yang rencananya akan dibangun pelabuhan tol laut. Sebab, menurut Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati, mayoritas dari 24 pelabuhan yang akan dibangun merupakan jalur pelayaran internasional.
"Ketika kita petakan di mana lokus yang akan dibangun 24 pelabuhan itu adalah jalur perdagangan internasional. Kalau itu yang terjadi, harapan kita mengurangi biaya logistik antar pulau itu hanya mimpi," kata Enny ditemui usai diskusi akhir pekan lalu.
Padahal, apa yang diharapkan publik dengan adanya tol laut Jokowi adalah untuk menjawab tingginya biaya logistik. Tol laut juga diharapkan dapat meningkatkan volume dan transaksi pedagangan antar pulau, antar provinsi.
Namun, untuk memenuhi harapan tersebut, Enny bilang pemerintah tidak hanya harus menambah infrastruktur pelayaran. Diperlukan pembangunan industri di luar Pulau Jawa, sehingga barang-barang yang bisa dipertukarkan meningkat.
Enny menambahkan, infrastruktur pelayaran lebih perlu dibangun di kawasan industri baru, ketimbang di jalur internasional. Sayangnya, lokasi yang ada dalam rencana pemerintah saat ini dinilai justru malah membuat efisien barang-barang dari luar negeri.  Dus, harga barang-barang impor pun bisa menjadi lebih murah.
"Yang terjadi, jalur perdagangan internasional lebih efisien. Justru biaya logistik yang dari impor lebih murah. Ini jangan sampai seperti itu," ucap Enny.

Sebelumnya diberitakan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas telah mendesain konsep tol laut Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan 24 pelabuhan, terdiri atas pelabuhan yang menjadi hub internasional, pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul. Sebanyak 24 pelabuhan itu antara lain, Pelabuhan Banda Aceh, Belawan, Kuala Tanjung, Dumai, Batam, Padang, Pangkal Pinang, Pelabuhan Panjang, Pelabuhan Tanjung Priok, Cilacap, Tanjung Perak, Lombok, Kupang, Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin, Maloy, Makassar, Bitung, Halmahera, Ambon, Sorong, Merauke dan Jayapura.

"Cuma Pelabuhan Kuala Tanjung, Bitung dan Sorong yang akan dibangun baru. Sedangkan sisanya hanya perluasan atau pengeembangan" kata Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas, Dedy S Priatna, beberapa waktu lalu.
Dari 24 pelabuhan itu, lanjut dia, dibagi menjadi dua hub internasional yaitu Kuala Tanjung dan Bitung yang akan menjadi 'ruang tamu' bagi kapal-kapal asing dari berbagai negara. Pemerintah juga menyiapkan enam pelabuhan utama yang dapat dilalui kapal-kapal besar berbobot 3.000 hingga 10.000 TeUS, yakni Pelabuhan Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Makassar, dan Sorong.
"Pelabuhan utama akan jadi jalur utama atau jalan tolnya. Sedangkan 24 pelabuhan dari Belawan sampai Jayapura disebut Pelabuhan Pengumpul," kata dia.
(kompas.com)
Semoga tol laut mampu menjadi solusi bagi Indonesia lebih baik.

Minggu, 01 Mei 2016

Proses Penyusunan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu



Assalamu’alaikum

Pada kesempatan kali ini, di minggu ke tiga setelah ujian tengah semester 6 geodet berpeci akan berbagi ilmu tentang “ Proses Penyusunan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu.”  Mari yuk belajar bersama!

Definisi Wilayah Pesisir
1.      Aspek ekologis
Daerah pertemuan darat dan laut, dengan batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat laut seperti angin laut, pasang surut dan intrusi air laut; sedangkan batas ke arah laut mencakup bagian perairan pantai sampai batas terluar dari paparan benua yang masih dipengaruhi oleh proses alamiah yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar serta proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia, misalnya penggundulan hutan, pencemaran industri/domestik, limbah tambak, atau penangkapan ikan
2.      Aspek Administrasi
Pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten atau kota dan ke arah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk propinsi atau sepertiganya untuk kabupaten atau kota (Dahuri, et.al., 2001).
 Jadi pada dasarnya garis batas kawasan pesisir hanyalah merupakan garis khayal yang letaknya dipengaruhi kondisi setempat dan secara konstan berubah karena proses natural yang sangat dinamis (Kay dan Alder, 1999).

Karakteristik Pesisir Indonesia
Bersumber dari website Yayasan Terumbu Karang Indonesia (Terangi) karakteristik pesisir Indonesia sebagai berikut :
Wilayah laut dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi pengembangan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi nasional. Disamping itu, fakta-fakta yang telah dikemukakan beberapa ahli dalam berbagai kesempatan, juga mengindikasikan hal yang serupa. Fakta-fakta tersebut antara lain adalah :
  1. Secara sosial, wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan dating.
  2. Secara administratif kurang lebih 42 Daerah Kota dan 181 Daerah Kabupaten berada di pesisir, dimana dengan adanya otonomi daerah masing-masing daerah otonomi tersebut memiliki kewenangan yang lebih luas dalam pengolahan dan pemanfaatan wilayah pesisir.
  3. Secara fisik, terdapat pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi yang tersebar mulai dari Sabang hingga Jayapura, dimana didalamnya terkandung berbagai asset sosial (Social Overhead Capital) dan ekonomi yang memiliki nilai ekonomi dan financial yang sangat besar.
  4. Secara ekonomi, hasil sumberdaya pesisir telah memberikan kontribusi terhadap pembentuka PDB nasional sebesar 24% pada tahun 1989. Selain itu, pada wilayah ini juga terdapat berbagai sumber daya masa depan (future resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini belum dikembangkan secara optimal, antara lain potensi perikanan yang saat ini baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan.
  5. Wilyah pesisir di Indonesia memiliki peluang untuk menjadi produsen (exporter) sekaligus sebagi simpul transportasi laut di Wilayah Asia Pasifik. Hal ini menggambarkan peluang untuk meningkatkan pemasaran produk-produk sektor industri Indonesia yang tumbuh cepat (4%-9%)
  6. Selanjutnya, wilayah pesisir juga kaya akan beberapa sumber daya pesisir dan lauatan yang potensial dikembangkan lebih lanjut meliputi (a) pertambangan dengan diketahuinya 60% cekungan minyak, (b) perikanan dengan potensi 6,7 juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik penangkapan ikan di dunia, (c) pariwisata bahari yang diakui duniadengan keberadaan 21 spot potensial, dan (d) keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural biodiversity) sebagai daya tarik bagi pengembangan kegiatan “ecotaurism”.
  7. Secara biofisik, wilayah pesisir di Indonesia merupakan pusat biodiversity laut tripis dunia kerena hamper 30% hutan bakau dan terumbu karang dunia terdapat di Indonesia.
  8. Secara politik dan hankam, wilayah pesisir merupakan kawasan perbatasan antar Negara maupun antar daerah yang sensitive dan memiliki implikasi terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Urgensi Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu

Dra.Wahyuningsih Darajati, MSc tahun 2002 selaku Direktur Kelautan dan Perikanan, Bappenas dalam STRATEGI WILAYAH PESISIR DAN LAUTAN SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN menguraikan tentang urgensi Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (PWPT) :
 Ditinjau dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan dan status bangsa Indonesia sebagai Negara berkembang, PWPT sesungguhnya berada dipersimpangan jalan (at the cross road). Disatu sisi kita menghadapi wilayah pesisir yang padat penduduk dengan derap pembangunan yang intensif dengan pola yang tidak berkelanjutan (unsustainable development pattern), seperti yang terjadi di Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Bali, pesisir antara Balikpapan dan Bontang di Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan sehingga indikasinya terlampaui daya dukung (potensi lestari) dari ekosistem pesisir dan lautan, seperti pencemaran, tangkap lebih (overfishing), degradasi fisik habitat pesisir dan abrasi pantai. Di sisi lain, masih banyak kawasan pesisir dan lautan Indonesia yang tingkat pemanfaatan sumberdaya alamnya belum optimal.
  
Proses Penyusunan Rencana PWPT dan Peran Teknik Geodesi
Proses dan langkah-langkah ini secara sederhana dapat diperlihatkan sebagai Proses Perencanaan – Implementasi – Evaluasi Kawasan Pesisir Pantai. Penyusunan rencana, pada umunya dirangsang oleh adanya problem dan konflik yang kritis diwilayah pantai. Hal ini menimbulkan kesadaran akan perlunya perencanaan wilayah pantai terpadu. Keadaan ini, dilanjutkan dengan inisiatif dari pihak pemerintah daerah maupun pusat untuk melakukan persiapan penyusunan rencana. Proses perencanaan ini bersifat iteratif dan memungkinkan adanya umpan balik ganda (multiple feedback).
Proses dan langkah-langkah dasar dalam perencanaan dapat ditunjukkan seperti gambar dibawah yang terdiri dari 6 langkah yaitu: definisi problem, menetapkan kriteria evaluasi, identifikasi alternatif-alternatif, evaluasi alternatif-alternatif, pembandingan alternatif-alternatif, dan penilaian out-come. Hal yang demikian adalah merupakan langkah-langkah umum dalam proses, dan tiap langkah dapat dijabarkan ke dalam komponen yang lebih detail. Perlu diketahui bahwa dalam perencanaan, para perencana boleh jadi menggunakan bermacam jalur, dikarena-kan perbedaan dalam training, waktu yang tersedia untuk analisis, kompleksitas problem, sumber-daya yang tersedia, dan afiliasi organisasional.

Langkah pertama (mendefinisikan problem) adalah usaha mengetahui posisi-posisi dan pengaruh dari berbagai individu-individu dan kelompok-kelompok. Sehingga seorang perencana mesti bertanya. Siapa yang berkepentingan terhadap problem? Mengapa? Apa saja persoalan mereka? Kekuasaan apa yang dipunyai untuk mempengaruhi keputusan kebijakan?
Tantangan dalam langkah ini adalah menyatakan problem dengan penuh makna, menghilangkan materi-materi yang tidak relevan, menyatakannya dengan angka-angka, berfokus pada sentral. Faktor-faktor yang kritis, dan mendefinisikan problem dengan cara menghilangkan hal-hal yang bersifat ambigius. Setelah usaha ini, akan diketahui apakah terdapat problem yang dapat diselesaikan, apakah mampu untuk mengembangkan problem dengan statemen yang detail, dan apakah mampu untuk mengestimasi waktu dan sumberdaya bagi analisis yang diperlukan
Langkah kedua (penetapan kriteria evaluasi), perlu diketahui kapan suatu problem diselesaikan atau kapan kebijakan yang tepat atau yang bersifat dapat diterima diidentifikasi? Bagaimana kebijakan-kebijakan yang mungkin ada akan diperbandingkan? Apakah kebijakkan yang diusulkan akan mempunyai bermacam dampak dan mempengaruhi kelompok-kelompok yang berbeda? Kebijakan-kebijakan akan diterima oleh kelompok satu, akan tetapi kemungkinan ditolak oleh kelompok lain, atau malah membahayakan kepada kelompok lain.
Langkah ketiga (identifikasi kebijak-an alternatif) dalam proses, perencana harus mengetahui nilai-nilai, tujuan, dan sasaran-sasaran yang tidak saja bagi pihak-pihak tertentu, namun juga kepada seluruh pihak yang terlibat. Identifikasi terhadap kriteria adalah digunakan untuk pertimbangan alternatif-alternatif dan membantu untuk membuat kebijakan alternatif.
Langkah keempat (evaluasi kebijak-an-kebijakan alternatif) dalam proses adalah evaluasi kebijakan alternatif dan paket-paket kebijakan ke dalam strategi dan program. Apa saja dampak-dampak yang diharapkan dari masing-masing kebijakan? Seberapa jauh masing-masing kebijakan memenuhi kriteria evaluasi? Kegiatan evaluasi ini dapat mengungkap alternatif-alternatif yang memenuhi sebagian besar atau seluruh kriteria umum, dan dapat pula mengungkap hal-hal lain yang dapat dibuang dengan sedikit analisis tambahan. Beberapa alternatif butuh eksaminasi lebih lanjut. Data tambahan mungkin harus dikumpulkan. Selama tahap ini adalah merupakan hal penting bagi seorang analisis untuk memeriksa perbedaan antara kelayakan ekonomi atau kelayakan teknis dengan alternatif yang acceptable secara politis. Formulasi kebijakan – desain dan evaluasi alternatif atau pilihan kebijakan – dimaksudkan pada pendefinisian problem secara tepat dan menemukan solusi-solusi yang layak dan efektif. Apakah solusi-solusi ini dapat diimplementasikan adalah merupakan pertanyaan politis esensial.


Betapa pentingnya pemahaman terhadap kawasan pesisir untuk mengantisipasi kerusakan land use/land cover yang semakin parah. Banyak penelitian yang secara konsisten fokus meneliti fenomena kawasan pesisir sebagai wilayah yang strategis tetapi juga teramat sensitif. Dan teknologi penginderaan jauh dan SIG sangat membantu dalam memahami proses perubahan yang terjadi di kawasan pesisir tersebut


Sumber :
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P., dan Sitepu, M.J. (2004) , Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu . PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Kay, R., dan J. Alder. (1999), Coastal Planning and Management . E&FN Spon. London

Minggu, 24 April 2016

Mengupas Reklamasi Jakarta



Mengupas Reklamasi Jakarta

Jakarta adalah ibukota negara Indonesia yang  terletak di latitude 5° 19' 12" - 6° 23' 54" LS dan longitude 106° 22' 42" - 106° 58' 18" BT. Sembilan puluh persen wilayah Jakarta adalah perairan 6.997,50 km2 dan luas daratannya adalah 661,52 km2 dengan potensi wilayah perairan yang besar wajar jika ada reklamasi Jakarta. Sebenarnya bagaimana sejarah reklamai Jakarta? Dan serba-serbinya??
Reklamasi bukan hal baru bagi Jakarta. Kegiatan untuk meningkatkan manfaat sumber daya lahan dengan pengurukan dan pengeringan lahan atau drainase tersebut sudah mulai dilakukan sejak 1980-an.
PT Harapan Indah mereklamasi kawasan Pantai Pluit selebar 400 meter dengan penimbunan. Daerah baru yang terbentuk digunakan untuk permukiman mewah Pantai Mutiara.
Dalam catatan pemberitaan Kompas, PT Pembangunan Jaya melakukan reklamasi kawasan Ancol sisi utara untuk kawasan industri dan rekreasi sekitar tahun 1981.
Sepuluh tahun kemudian, giliran hutan bakau Kapuk yang direklamasi untuk kawasan permukiman mewah yang sekarang dikenal dengan sebutan Pantai Indah Kapuk. Tahun 1995, menyusul reklamasi yang digunakan untuk industri, yakni Kawasan Berikat Marunda.
Saat itu, kegiatan reklamasi di empat lokasi tersebut sudah menimbulkan perdebatan. Sejumlah pihak menuduh reklamasi Pantai Pluit mengganggu sistem PLTU Muara Karang. Diduga, ini terjadi akibat adanya perubahan pola arus laut di areal reklamasi Pantai Mutiara yang berdampak terhadap mekanisme arus pendinginan PLTU.
Tak hanya itu, tenggelamnya sejumlah pulau di perairan Kepulauan Seribu diduga akibat dari pengambilan pasir laut untuk menimbun areal reklamasi Ancol. Namun, dampak negatif tersebut tidak diindahkan. Upaya reklamasi dipilih untuk menambah luas daratan ibu kota negara.
Wiyogo Atmodarminto, Gubernur DKI Jakarta waktu itu, menyatakan reklamasi ke utara Jakarta dipilih karena perluasan ke arah selatan sudah tidak memungkinkan lagi.
Rencana reklamasi seluas 2.700 hektar tersebut pertama kali dipaparkan di hadapan Presiden Soeharto, Maret 1995. Selain untuk mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta, proyek reklamasi juga untuk mengembangkan wilayah Jakarta Utara yang tertinggal dibandingkan empat wilayah lain.
Untuk memuluskan rencana tersebut, disahkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995.
Namun, munculnya dua kebijakan ini "menabrak" Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005. Di dalam dokumen RUTR tersebut tidak disebutkan mengenai rencana reklamasi.
Tarik ulur kebijakan
Sejak 1995 tersebut terjadi "perang" aturan antara Pemprov DKI Jakarta dan Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup dalam berbagai kebijakannya menyebutkan bahwa reklamasi tidak layak dilakukan karena akan merusak lingkungan. Sementara Pemprov DKI Jakarta bersikeras agar reklamasi tetap dilakukan.
Tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan, proyek reklamasi tidak bisa dilakukan karena Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kaidah penataan ruang dan ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan.
Ketidaklayakan tersebut disampaikan dengan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara.
Surat keputusan tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI. Tahun 2007, enam pengembang yang mendapat hak reklamasi menggugat Menteri Lingkungan Hidup ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).
Mereka beralasan sudah melengkapi semua persyaratan untuk reklamasi, termasuk izin amdal regional dan berbagai izin lain. PTUN memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan banding atas keputusan itu, tetapi PTUN tetap memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan kasasi ke MA. Pada 28 Juli 2009, MA memutuskan mengabulkan kasasi tersebut dan menyatakan, reklamasi menyalahi amdal.
Keputusan baru MA
Tahun 2011, keadaan berbalik. MA mengeluarkan putusan baru (No 12/PK/TUN/2011) yang menyatakan, reklamasi di Pantai Jakarta legal. Namun, putusan MA tersebut tidak serta-merta memuluskan rencana reklamasi.
Untuk melaksanakan reklamasi, Pemprov DKI Jakarta harus membuat kajian amdal baru untuk memperbarui amdal yang diajukan tahun 2003. Juga dengan pembuatan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang melibatkan pemda di sekitar teluk Jakarta.
Saat rencana reklamasi terkatung-katung oleh berbagai aturan yang menghadangnya, tahun 2012 Presiden SBY menerbitkan Perpres No 122 Tahun 2012. Perpres mengenai reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut menyetujui praktik pengaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta.
Tahun 2014, Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo kembali mengukuhkan rencana reklamasi. Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2013 keluar pada Desember 2014 dengan pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.
Ide moratorium 
Namun, Kementerian Kelautan dan Perikanan menilai, kebijakan tersebut melanggar karena kewenangan memberikan izin di area laut strategis berada di tangan kementeriannya meski lokasinya ada di wilayah DKI Jakarta.
Tak hanya itu, Kementerian Koordinator Kemaritiman juga meminta pengembang dan Pemprov DKI Jakarta membuat kajian ilmiah rencana reklamasi Pulau G di Jakarta Utara. Kajian ilmiah itu perlu dijelaskan kepada publik sehingga publik tahu detail perencanaan dan bisa mengawasi proyek reklamasi.
Akhir September 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengkaji penghentian sementara (moratorium) reklamasi. Reklamasi diusulkan hanya untuk pelabuhan, bandara, dan listrik. Di luar itu tidak boleh ada reklamasi untuk hotel, apartemen, mal, dan sebagainya.
Moratorium yang masih berupa kajian tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI Jakarta untuk tetap melaksanakan reklamasi.
Akhir Oktober 2015, Pemprov DKI menyatakan mulai mempersiapkan tahap awal pengembangan pulau-pulau reklamasi. Pulau O, P, dan Q akan diintegrasikan dengan Pulau N untuk pembangunan Port of Jakarta.

Pro reklamasi
Wacana reklamasi 17 pulau ini terus bergulir sejak zaman Orde Baru. Namun, sudah 10 tahun bergulir, reklamasi tersebut urung dilakukan. Berbagai pendapat mendukung dan menentang rencana reklamasi tersebut.
Reklamasi untuk menambah ruang pembangunan Jakarta merupakan salah satu pendapat yang mendukung proyek reklamasi.
Kawasan selatan Jakarta sudah tidak mungkin dikembangkan karena fungsinya sebagai daerah konservasi. Juga dengan wilayah timur dan barat yang sudah telanjur padat penduduk karena sejak 1985 pengembangan wilayah Jakarta sudah diarahkan ke timur dan barat.
Alasan lain adalah untuk mengembangkan kawasan utara Jakarta. Pengembang yang membangun kawasan tersebut akan menghasilkan pajak dan retribusi. Selanjutnya pemasukan baru PAD DKI Jakarta tersebut digunakan untuk memperbaiki kawasan kumuh.
Namun, justru alasan ini dipertanyakan banyak pihak. Jika ingin menambah ruang pembangunan, bukan dengan melakukan pembangunan horizontal ke wilayah utara.
Pembangunan vertikal dengan memperhatikan kaidah lingkungan secara perlahan harus diterapkan. Selain itu, arus migrasi manusia ke Jakarta juga perlahan perlu ditahan dan diarahkan ke wilayah mitra (Bodetabek).
Penggunaan area reklamasi untuk subsidi silang pemasukan daerah juga merupakan langkah tidak tepat.
Seberapa besar pengawasan yang dilakukan Pemprov DKI untuk memastikan para pengembang membayar pajak dan retribusi? Pengembang yang telah menginvestasikan banyak uang akan membatasi pemasukannya bagi pajak dan retribusi pemda.
Berbagai pendapat mendukung bahwa reklamasi berdampak positif pada lingkungan. Reklamasi berupa pulau akan memperlancar aliran banjir ke laut, berfungsi sebagai bendungan untuk menahan kenaikan permukaan air laut, dan sebagai sumber air bersih Jakarta Utara.
Juga ada pendapat bahwa reklamasi akan memecah gelombang dan mengurangi risiko abrasi. Pendapat tersebut memerlukan kajian lebih lanjut.
Kontra reklamasi
Pihak yang menentang akan mengaitkan reklamasi berdampak negatif pada lingkungan. Sebut saja akan mengakibatkan ekosistem pesisir terancam punah.
Kehancuran itu antara lain berupa hilangnya berbagai jenis pohon bakau di Muara Angke, punahnya ribuan jenis ikan, kerang, kepiting, dan berbagai keanekaragaman hayati lain.
Selain itu, reklamasi juga akan memperparah potensi banjir di Jakarta karena mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan Jakarta Utara.
Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai, dan merusak kawasan tata air.
Tak hanya persoalan lingkungan, reklamasi berdampak juga pada masalah sosial, seperti pada kehidupan nelayan Jakarta Utara.
Reklamasi pantura Jakarta diyakini menyebabkan 125.000 nelayan tergusur dari sumber kehidupannya dan menyebabkan nelayan yang sudah miskin menjadi semakin miskin.
Terakhir, muncul pertanyaan substansial: reklamasi di Teluk Jakarta itu diperuntukkan bagi siapa?
Tidak semua kelas ekonomi masyarakat Jakarta bisa menikmati reklamasi tersebut. Reklamasi yang dibangun pengembang dengan dana triliunan rupiah tentu akan dijual dengan harga mahal. Hanya golongan ekonomi atas yang mungkin akan menikmati reklamasi tersebut.
------------

Artikel ini pernah dipublikasikan di Harian Kompas, 11 November 2015, dengan judul "Dilema Reklamasi Pantai Jakarta". 
(M Puteri Rosalina/Litbang Kompas)

Minggu, 17 April 2016

Payung (Hukum) Teduh Nelayan Jakarta, "Analisis UU No 1 tahun 2014"



Payung (Hukum) Teduh Nelayan Jakarta, "Analisis UU No 1 tahun 2014"


Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945)

Reklamasi pantai di utara Jakarta masih menjadi polemik. Sejumlah nelayan masih menolak rencana Pemprov DKI Jakarta tersebut.  "Kami kawan-kawan nelayan ingin proyek reklamasi berhenti. Ini aksi damai kami secara simbolis akan menyegel pulau," kata Sekretaris Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)  Kuat Wibisono di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta, Minggu (17/4/2016). KNTI menilai proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta telah menurunkan pendapatan nelayan sekitar 40 hingga 50 persen akibat memburuknya kualitas laut Jakarta. Ketua Dewan Pembina KNTI Chalid Muhammad menjelaskan nelayan butuh lokasi tangkap ikan yang lebih jauh. Selain itu, kegiatan pembangunan di pulau-pulau reklamasi juga mengakibatkan laju arus air melambat hingga berpotensi menggenangi kampung nelayan.
Jika reklamasi ini merugikan mengapa izin pembangunan bisa diperoleh? Apakah tidak ada payung hukum yang melindungi hak nelayan ?
Jawabannya ada, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan sidang Makamah Konstitusi yang menghasilkan Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 Tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3).
Dalam Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD menyatakan;
1.       Pertama, Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.       Kedua, Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mempunyai kekuatan mengikat; dan
3.       Ketiga, Memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak Putusan ini diucapkan.
 Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Riza Damanik mengatakan, keputusan ini adalah kemenangan rakyat Indonesia, kemenangan keluarga nelayan. Dengan pembatalkan pasal-pasal terkait Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), MK telah menegaskan sumber daya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil tidak boleh diprivatisasi (termasuk kepada asing).
Menurut Riza, pemerintah pusat, pemerintah daerah, DPR/DPRD, dan aparatur hukum lainnya di 33 provinsi harus mematuhi dan menghentikan pelbagai praktik komersialisasi dan privatisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pasalnya, putusan MK memiliki kekuatan hukum tetap.
Dengan putusan MK itu, kata Riza, negara harus menyelenggarakan kewajiban konstitusionalnya guna memenuhi dan melindungi hak-hak konstitusi nelayan dan masyarakat  yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, tak ada jalan lain negara selain menjalankan amanah Pasal 28 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Masalah utama yang menjadi pertimbangan MK dalam membatalkan beberapa pasal dalam UU No. 27 tahun 2007 adalah konstitusionalitas pasal-pasal tersebut yang dianggap bertentangan dengan 12 (dua belas) norma konstitusi dalam UUD 1945. MK berpendapat bahwa pemanfaatan Wilayah pasir dan pulau-pulau kecil dengan instrument HP-3 tidak dapat memberikan jaminan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ada 4 (mpat) tolak ukur yang digunakan oleh MK dalam mengukur manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tersebut:
1.       Kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat;
2.       Tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat;
3.       Tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat ssumber daya alam
4.       Penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam
Menurut MK, pemberian HP-3 oleh pemerintah kepada pihak swasta adalah bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsp kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” MK menyatakan, pemberian HP3 melanggar prinsip demokrasi ekonomi karena akan mengakibatkan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah HP3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar. Sebaliknya, bagi masyarakat nelayan tradisional yang sebagian besar berdiam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan menggantungkan hidup dan kehidupannya pada sumber daya pesisir akan tersingkir.
Mencermati dasar pertimbangan dan putusan MK tentang HP-3 yang dinilai oleh MK melanggar konstitusi tersebut, pada intinya menyangkut 2 (dua) hal mendasar, yaitu:
Kekuasaan negara atas pengelolaan sumber daya alam termasuk wilayyah peesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menurut penilaian MK akan beralih kepada pihak swasta dengan pemberian HP-3.
Kekhawatiran akan tertutupnya akses masyarakat pesisir dalam pengelolaan wiilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan potensi hilangnya hak-hak masyarakat pesisir dan terusirnya masyarakat pesisir dari wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta kearifan-kearifan lokal yang sudah dipraktikkan secara turun temurun dengan  pemberian HP-3 dalam UU pesisir terrsebut, diakibatkan akan munculnya dominasi swasta sebagai pemilik modal besar yang dianggap mampu memenuhi semua  persyaratan dalam pemberian HP-3 tersebut, dimana pemberian HP-3 dapat saja meliputi wilayah yang telah dikuasai dan dikelola oleh masyarakat pesisir secara turun-temurun.
Yang seharusnya dilakukan Pemerintah adalah memperketat pemberian izin kepada pihak swasta dalam pengelolaan HP-3 dan meningkatkan pengawasan di daerah pesisir dengan melibatkan warga sekitar pesisir sebagai pengawas. Serta melakukan revisi kontrak kerja sama dengan pihak swasta dengan memperhatikan klausula pembagian hasil antara pemerintah dan swasta dan menekankan pada pembagian yang adil sehingga tidak banyak merugikan negara dan sejalan dengan maksud Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Jadi, masih relevankah proyek reklamasi Jakarta ?

Sumber :
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4dfb6eee04a51/putusan-mk-tegaskan-hak-konstitusional-nelayan
http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2014_1.pdf
http://news.liputan6.com/read/2485450/tolak-reklamasi-1000-nelayan-mulai-bergerak-segel-pulau-g
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160417111206-20-124459/tolak-reklamasi-ratusan-nelayan-segel-pulau-g/