Mengupas
Reklamasi Jakarta
Jakarta adalah ibukota negara Indonesia yang terletak di latitude 5° 19'
12" - 6° 23' 54" LS dan longitude 106° 22' 42" - 106° 58' 18" BT. Sembilan puluh persen wilayah Jakarta adalah
perairan 6.997,50 km2 dan luas daratannya adalah 661,52 km2
dengan potensi wilayah perairan yang besar wajar jika ada reklamasi Jakarta.
Sebenarnya bagaimana sejarah reklamai Jakarta? Dan serba-serbinya??
Reklamasi bukan hal baru
bagi Jakarta. Kegiatan untuk meningkatkan manfaat sumber daya lahan
dengan pengurukan dan pengeringan lahan atau drainase tersebut sudah mulai
dilakukan sejak 1980-an.
PT Harapan Indah mereklamasi kawasan Pantai Pluit selebar 400 meter dengan
penimbunan. Daerah baru yang terbentuk digunakan untuk permukiman mewah Pantai
Mutiara.
Dalam catatan pemberitaan Kompas, PT Pembangunan Jaya melakukan
reklamasi kawasan Ancol sisi utara untuk kawasan industri dan rekreasi sekitar
tahun 1981.
Sepuluh tahun kemudian, giliran hutan bakau Kapuk yang direklamasi untuk
kawasan permukiman mewah yang sekarang dikenal dengan sebutan Pantai Indah
Kapuk. Tahun 1995, menyusul reklamasi yang digunakan untuk industri, yakni
Kawasan Berikat Marunda.
Saat itu, kegiatan reklamasi di empat lokasi tersebut sudah menimbulkan
perdebatan. Sejumlah pihak menuduh reklamasi Pantai Pluit mengganggu sistem
PLTU Muara Karang. Diduga, ini terjadi akibat adanya perubahan pola arus laut
di areal reklamasi Pantai Mutiara yang berdampak terhadap mekanisme arus
pendinginan PLTU.
Tak hanya itu, tenggelamnya sejumlah pulau di perairan Kepulauan Seribu
diduga akibat dari pengambilan pasir laut untuk menimbun areal reklamasi Ancol.
Namun, dampak negatif tersebut tidak diindahkan. Upaya reklamasi dipilih untuk
menambah luas daratan ibu kota negara.
Wiyogo Atmodarminto, Gubernur DKI Jakarta waktu itu, menyatakan reklamasi ke
utara Jakarta dipilih karena perluasan ke arah selatan sudah tidak memungkinkan
lagi.
Rencana reklamasi seluas 2.700 hektar tersebut pertama kali dipaparkan di
hadapan Presiden Soeharto, Maret 1995. Selain untuk mengatasi kelangkaan lahan
di Jakarta, proyek reklamasi juga untuk mengembangkan wilayah Jakarta Utara
yang tertinggal dibandingkan empat wilayah lain.
Untuk memuluskan rencana tersebut, disahkan Keputusan Presiden Nomor 52
Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995.
Namun, munculnya dua kebijakan ini "menabrak" Rencana Umum Tata
Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005. Di dalam dokumen RUTR tersebut tidak disebutkan
mengenai rencana reklamasi.
Tarik ulur kebijakan
Sejak 1995 tersebut terjadi "perang" aturan antara Pemprov DKI
Jakarta dan Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup dalam
berbagai kebijakannya menyebutkan bahwa reklamasi tidak layak dilakukan karena
akan merusak lingkungan. Sementara Pemprov DKI Jakarta bersikeras agar
reklamasi tetap dilakukan.
Tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan, proyek reklamasi tidak
bisa dilakukan karena Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kaidah penataan ruang
dan ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan.
Ketidaklayakan tersebut disampaikan dengan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor
14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan
Revitalisasi Pantai Utara.
Surat keputusan tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI. Tahun 2007,
enam pengembang yang mendapat hak reklamasi menggugat Menteri Lingkungan Hidup
ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).
Mereka beralasan sudah melengkapi semua persyaratan untuk reklamasi,
termasuk izin amdal regional dan berbagai izin lain. PTUN memenangkan gugatan
keenam perusahaan tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan banding atas keputusan itu,
tetapi PTUN tetap memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan kasasi ke MA. Pada 28 Juli
2009, MA memutuskan mengabulkan kasasi tersebut dan menyatakan, reklamasi
menyalahi amdal.
Keputusan baru MA
Tahun 2011, keadaan berbalik. MA mengeluarkan putusan baru (No
12/PK/TUN/2011) yang menyatakan, reklamasi di Pantai Jakarta legal.
Namun, putusan MA tersebut tidak
serta-merta memuluskan rencana reklamasi.
Untuk melaksanakan
reklamasi, Pemprov DKI Jakarta harus membuat kajian amdal baru untuk
memperbarui amdal yang diajukan tahun 2003. Juga dengan pembuatan dokumen
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang melibatkan pemda di sekitar teluk
Jakarta.
Saat rencana reklamasi
terkatung-katung oleh berbagai aturan yang menghadangnya, tahun 2012 Presiden
SBY menerbitkan Perpres No 122 Tahun 2012. Perpres mengenai reklamasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut menyetujui praktik pengaplingan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta.
Tahun 2014, Pemprov DKI di
bawah kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo kembali mengukuhkan rencana reklamasi.
Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2013 keluar pada Desember 2014
dengan pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.
Ide moratorium
Namun, Kementerian Kelautan
dan Perikanan menilai, kebijakan tersebut melanggar karena kewenangan
memberikan izin di area laut strategis berada di tangan kementeriannya meski
lokasinya ada di wilayah DKI Jakarta.
Tak hanya itu, Kementerian
Koordinator Kemaritiman juga meminta pengembang dan Pemprov DKI Jakarta membuat
kajian ilmiah rencana reklamasi Pulau G di Jakarta Utara. Kajian ilmiah itu
perlu dijelaskan kepada publik sehingga publik tahu detail perencanaan dan bisa
mengawasi proyek reklamasi.
Akhir September 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengkaji
penghentian sementara (moratorium) reklamasi. Reklamasi diusulkan hanya untuk
pelabuhan, bandara, dan listrik. Di luar itu tidak boleh ada reklamasi untuk
hotel, apartemen, mal, dan sebagainya.
Moratorium yang masih berupa kajian tersebut tidak menghentikan langkah
Pemprov DKI Jakarta untuk tetap melaksanakan reklamasi.
Akhir Oktober 2015, Pemprov DKI menyatakan mulai mempersiapkan tahap awal
pengembangan pulau-pulau reklamasi. Pulau O, P, dan Q akan diintegrasikan
dengan Pulau N untuk pembangunan Port of Jakarta.
Pro reklamasi
Wacana reklamasi 17 pulau ini terus bergulir sejak zaman Orde Baru. Namun,
sudah 10 tahun bergulir, reklamasi tersebut urung dilakukan. Berbagai pendapat
mendukung dan menentang rencana reklamasi tersebut.
Reklamasi untuk menambah ruang pembangunan Jakarta merupakan salah satu
pendapat yang mendukung proyek reklamasi.
Kawasan selatan Jakarta sudah tidak mungkin dikembangkan karena fungsinya
sebagai daerah konservasi. Juga dengan wilayah timur dan barat yang sudah
telanjur padat penduduk karena sejak 1985 pengembangan wilayah Jakarta sudah
diarahkan ke timur dan barat.
Alasan lain adalah untuk mengembangkan kawasan utara Jakarta. Pengembang
yang membangun kawasan tersebut akan menghasilkan pajak dan retribusi.
Selanjutnya pemasukan baru PAD DKI Jakarta tersebut digunakan untuk memperbaiki
kawasan kumuh.
Namun, justru alasan ini dipertanyakan banyak pihak. Jika ingin menambah
ruang pembangunan, bukan dengan melakukan pembangunan horizontal ke wilayah
utara.
Pembangunan vertikal dengan memperhatikan kaidah lingkungan secara perlahan
harus diterapkan. Selain itu, arus migrasi manusia ke Jakarta juga perlahan
perlu ditahan dan diarahkan ke wilayah mitra (Bodetabek).
Penggunaan area reklamasi untuk subsidi silang pemasukan daerah juga
merupakan langkah tidak tepat.
Seberapa besar pengawasan yang dilakukan Pemprov DKI untuk memastikan para
pengembang membayar pajak dan retribusi? Pengembang yang telah menginvestasikan
banyak uang akan membatasi pemasukannya bagi pajak dan retribusi pemda.
Berbagai pendapat mendukung bahwa reklamasi berdampak positif pada
lingkungan. Reklamasi berupa pulau akan memperlancar aliran banjir ke laut,
berfungsi sebagai bendungan untuk menahan kenaikan permukaan air laut, dan
sebagai sumber air bersih Jakarta Utara.
Juga ada pendapat bahwa
reklamasi akan memecah gelombang dan mengurangi risiko abrasi. Pendapat
tersebut memerlukan kajian lebih lanjut.
Kontra reklamasi
Pihak yang menentang akan
mengaitkan reklamasi berdampak negatif pada lingkungan. Sebut saja akan
mengakibatkan ekosistem pesisir terancam punah.
Kehancuran itu antara lain
berupa hilangnya berbagai jenis pohon bakau di Muara Angke, punahnya ribuan
jenis ikan, kerang, kepiting, dan berbagai keanekaragaman hayati lain.
Selain itu, reklamasi juga
akan memperparah potensi banjir di Jakarta karena mengubah bentang alam
(geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan Jakarta Utara.
Perubahan itu antara lain
berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola
arus laut sepanjang pantai, dan merusak kawasan tata air.
Tak hanya persoalan
lingkungan, reklamasi berdampak juga pada masalah sosial, seperti pada
kehidupan nelayan Jakarta Utara.
Reklamasi pantura Jakarta
diyakini menyebabkan 125.000 nelayan tergusur dari sumber kehidupannya dan
menyebabkan nelayan yang sudah miskin menjadi semakin miskin.
Terakhir, muncul pertanyaan
substansial: reklamasi di Teluk Jakarta itu diperuntukkan bagi siapa?
Tidak semua kelas ekonomi
masyarakat Jakarta bisa menikmati reklamasi tersebut. Reklamasi yang
dibangun pengembang dengan dana triliunan rupiah tentu akan dijual dengan harga
mahal. Hanya golongan ekonomi atas yang mungkin akan menikmati reklamasi
tersebut.
------------
Artikel ini pernah
dipublikasikan di Harian Kompas, 11 November 2015, dengan
judul "Dilema Reklamasi Pantai Jakarta".
(M
Puteri Rosalina/Litbang Kompas)