Assalamu’alaikum
Pada
kesempatan kali ini, di minggu ke tiga setelah ujian tengah semester 6 geodet berpeci akan berbagi ilmu tentang
“ Proses Penyusunan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu.” Mari yuk belajar bersama!
Definisi
Wilayah Pesisir
1.
Aspek ekologis
Daerah pertemuan darat
dan laut, dengan batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering
maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat laut seperti angin laut,
pasang surut dan intrusi air laut; sedangkan batas ke arah laut mencakup bagian
perairan pantai sampai batas terluar dari paparan benua yang masih dipengaruhi
oleh proses alamiah yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air
tawar serta proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia, misalnya penggundulan
hutan, pencemaran industri/domestik, limbah tambak, atau penangkapan ikan
2.
Aspek
Administrasi
Pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu
dari kecamatan atau kabupaten atau kota dan ke arah laut sejauh 12 mil dari
garis pantai untuk propinsi atau sepertiganya untuk kabupaten atau kota
(Dahuri, et.al., 2001).
Jadi pada dasarnya garis batas kawasan pesisir
hanyalah merupakan garis khayal yang letaknya dipengaruhi kondisi setempat dan
secara konstan berubah karena proses natural yang sangat dinamis (Kay dan
Alder, 1999).
Karakteristik
Pesisir Indonesia
Bersumber dari website
Yayasan Terumbu Karang Indonesia (Terangi) karakteristik pesisir Indonesia
sebagai berikut :
Wilayah
laut dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi
pengembangan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu
pilar ekonomi nasional. Disamping itu, fakta-fakta yang telah dikemukakan
beberapa ahli dalam berbagai kesempatan, juga mengindikasikan hal yang serupa.
Fakta-fakta tersebut antara lain adalah :
- Secara sosial, wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan dating.
- Secara administratif kurang lebih 42 Daerah Kota dan 181 Daerah Kabupaten berada di pesisir, dimana dengan adanya otonomi daerah masing-masing daerah otonomi tersebut memiliki kewenangan yang lebih luas dalam pengolahan dan pemanfaatan wilayah pesisir.
- Secara fisik, terdapat pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi yang tersebar mulai dari Sabang hingga Jayapura, dimana didalamnya terkandung berbagai asset sosial (Social Overhead Capital) dan ekonomi yang memiliki nilai ekonomi dan financial yang sangat besar.
- Secara ekonomi, hasil sumberdaya pesisir telah memberikan kontribusi terhadap pembentuka PDB nasional sebesar 24% pada tahun 1989. Selain itu, pada wilayah ini juga terdapat berbagai sumber daya masa depan (future resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini belum dikembangkan secara optimal, antara lain potensi perikanan yang saat ini baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan.
- Wilyah pesisir di Indonesia memiliki peluang untuk menjadi produsen (exporter) sekaligus sebagi simpul transportasi laut di Wilayah Asia Pasifik. Hal ini menggambarkan peluang untuk meningkatkan pemasaran produk-produk sektor industri Indonesia yang tumbuh cepat (4%-9%)
- Selanjutnya, wilayah pesisir juga kaya akan beberapa sumber daya pesisir dan lauatan yang potensial dikembangkan lebih lanjut meliputi (a) pertambangan dengan diketahuinya 60% cekungan minyak, (b) perikanan dengan potensi 6,7 juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik penangkapan ikan di dunia, (c) pariwisata bahari yang diakui duniadengan keberadaan 21 spot potensial, dan (d) keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural biodiversity) sebagai daya tarik bagi pengembangan kegiatan “ecotaurism”.
- Secara biofisik, wilayah pesisir di Indonesia merupakan pusat biodiversity laut tripis dunia kerena hamper 30% hutan bakau dan terumbu karang dunia terdapat di Indonesia.
- Secara politik dan hankam, wilayah pesisir merupakan kawasan perbatasan antar Negara maupun antar daerah yang sensitive dan memiliki implikasi terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Urgensi
Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu
Dra.Wahyuningsih
Darajati, MSc tahun 2002 selaku Direktur Kelautan dan Perikanan, Bappenas dalam
STRATEGI WILAYAH PESISIR DAN LAUTAN SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN
menguraikan tentang urgensi Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (PWPT) :
Ditinjau dari sudut pandang pembangunan
berkelanjutan dan status bangsa Indonesia sebagai Negara berkembang, PWPT
sesungguhnya berada dipersimpangan jalan (at
the cross road). Disatu sisi kita menghadapi wilayah pesisir yang padat
penduduk dengan derap pembangunan yang intensif dengan pola yang tidak
berkelanjutan (unsustainable development
pattern), seperti yang terjadi di Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Bali,
pesisir antara Balikpapan dan Bontang di Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan
sehingga indikasinya terlampaui daya dukung (potensi lestari) dari ekosistem
pesisir dan lautan, seperti pencemaran, tangkap lebih (overfishing), degradasi fisik habitat pesisir dan abrasi pantai.
Di sisi lain, masih banyak kawasan pesisir dan lautan Indonesia yang tingkat
pemanfaatan sumberdaya alamnya belum optimal.
Proses Penyusunan
Rencana PWPT dan Peran Teknik Geodesi
Proses
dan langkah-langkah ini secara sederhana dapat diperlihatkan sebagai Proses
Perencanaan – Implementasi – Evaluasi Kawasan Pesisir Pantai. Penyusunan
rencana, pada umunya dirangsang oleh adanya problem dan konflik yang kritis
diwilayah pantai. Hal ini menimbulkan kesadaran akan perlunya perencanaan
wilayah pantai terpadu. Keadaan ini, dilanjutkan dengan inisiatif dari pihak
pemerintah daerah maupun pusat untuk melakukan persiapan penyusunan rencana.
Proses perencanaan ini bersifat iteratif dan memungkinkan adanya umpan balik
ganda (multiple feedback).
Proses
dan langkah-langkah dasar dalam perencanaan dapat ditunjukkan seperti gambar
dibawah yang terdiri dari 6 langkah yaitu: definisi problem, menetapkan
kriteria evaluasi, identifikasi alternatif-alternatif, evaluasi
alternatif-alternatif, pembandingan alternatif-alternatif, dan penilaian
out-come. Hal yang demikian adalah merupakan langkah-langkah umum dalam proses,
dan tiap langkah dapat dijabarkan ke dalam komponen yang lebih detail. Perlu
diketahui bahwa dalam perencanaan, para perencana boleh jadi menggunakan
bermacam jalur, dikarena-kan perbedaan dalam training, waktu yang tersedia
untuk analisis, kompleksitas problem, sumber-daya yang tersedia, dan afiliasi
organisasional.
Langkah
pertama (mendefinisikan
problem) adalah usaha mengetahui posisi-posisi dan pengaruh dari berbagai
individu-individu dan kelompok-kelompok. Sehingga seorang perencana mesti
bertanya. Siapa yang berkepentingan terhadap problem? Mengapa? Apa saja
persoalan mereka? Kekuasaan apa yang dipunyai untuk mempengaruhi keputusan
kebijakan?
Tantangan
dalam langkah ini adalah menyatakan problem dengan penuh makna, menghilangkan
materi-materi yang tidak relevan, menyatakannya dengan angka-angka, berfokus
pada sentral. Faktor-faktor yang kritis, dan mendefinisikan problem dengan cara
menghilangkan hal-hal yang bersifat ambigius. Setelah usaha ini, akan diketahui
apakah terdapat problem yang dapat diselesaikan, apakah mampu untuk mengembangkan
problem dengan statemen yang detail, dan apakah mampu untuk mengestimasi waktu
dan sumberdaya bagi analisis yang diperlukan
Langkah
kedua (penetapan
kriteria evaluasi), perlu diketahui kapan suatu problem diselesaikan atau kapan
kebijakan yang tepat atau yang bersifat dapat diterima diidentifikasi?
Bagaimana kebijakan-kebijakan yang mungkin ada akan diperbandingkan? Apakah
kebijakkan yang diusulkan akan mempunyai bermacam dampak dan mempengaruhi
kelompok-kelompok yang berbeda? Kebijakan-kebijakan akan diterima oleh kelompok
satu, akan tetapi kemungkinan ditolak oleh kelompok lain, atau malah
membahayakan kepada kelompok lain.
Langkah
ketiga (identifikasi
kebijak-an alternatif) dalam proses, perencana harus mengetahui nilai-nilai,
tujuan, dan sasaran-sasaran yang tidak saja bagi pihak-pihak tertentu, namun
juga kepada seluruh pihak yang terlibat. Identifikasi terhadap kriteria adalah
digunakan untuk pertimbangan alternatif-alternatif dan membantu untuk membuat
kebijakan alternatif.
Langkah
keempat (evaluasi
kebijak-an-kebijakan alternatif) dalam proses adalah evaluasi kebijakan
alternatif dan paket-paket kebijakan ke dalam strategi dan program. Apa saja
dampak-dampak yang diharapkan dari masing-masing kebijakan? Seberapa jauh
masing-masing kebijakan memenuhi kriteria evaluasi? Kegiatan evaluasi ini dapat
mengungkap alternatif-alternatif yang memenuhi sebagian besar atau seluruh
kriteria umum, dan dapat pula mengungkap hal-hal lain yang dapat dibuang dengan
sedikit analisis tambahan. Beberapa alternatif butuh eksaminasi lebih lanjut.
Data tambahan mungkin harus dikumpulkan. Selama tahap ini adalah merupakan hal
penting bagi seorang analisis untuk memeriksa perbedaan antara kelayakan
ekonomi atau kelayakan teknis dengan alternatif yang acceptable secara politis.
Formulasi kebijakan – desain dan evaluasi alternatif atau pilihan kebijakan –
dimaksudkan pada pendefinisian problem secara tepat dan menemukan solusi-solusi
yang layak dan efektif. Apakah solusi-solusi ini dapat diimplementasikan adalah
merupakan pertanyaan politis esensial.
Betapa pentingnya pemahaman terhadap kawasan pesisir
untuk mengantisipasi kerusakan land use/land cover yang semakin parah. Banyak
penelitian yang secara konsisten fokus meneliti fenomena kawasan pesisir
sebagai wilayah yang strategis tetapi juga teramat sensitif. Dan teknologi
penginderaan jauh dan SIG sangat membantu dalam memahami proses perubahan yang
terjadi di kawasan pesisir tersebut
Sumber :
Dahuri,
R., Rais, J., Ginting, S.P., dan Sitepu, M.J. (2004) , Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu . PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Kay,
R., dan J. Alder. (1999), Coastal
Planning and Management . E&FN Spon. London
Tidak ada komentar:
Posting Komentar