Payung (Hukum) Teduh Nelayan
Jakarta, "Analisis UU No 1 tahun 2014"
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945)
Reklamasi pantai di utara Jakarta masih
menjadi polemik. Sejumlah nelayan masih menolak rencana Pemprov DKI Jakarta
tersebut. "Kami kawan-kawan nelayan
ingin proyek reklamasi berhenti. Ini aksi damai kami secara simbolis akan
menyegel pulau," kata Sekretaris Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
(KNTI) Kuat Wibisono di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta, Minggu
(17/4/2016). KNTI menilai proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta telah
menurunkan pendapatan nelayan sekitar 40 hingga 50 persen akibat memburuknya
kualitas laut Jakarta. Ketua Dewan Pembina KNTI Chalid Muhammad menjelaskan
nelayan butuh lokasi tangkap ikan yang lebih jauh. Selain itu, kegiatan
pembangunan di pulau-pulau reklamasi juga mengakibatkan laju arus air melambat
hingga berpotensi menggenangi kampung nelayan.
Jika reklamasi ini merugikan mengapa
izin pembangunan bisa diperoleh? Apakah tidak ada payung hukum yang melindungi
hak nelayan ?
Jawabannya ada, yaitu Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
berdasarkan sidang Makamah Konstitusi yang menghasilkan Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 Tentang Hak Pengusahaan
Perairan Pesisir (HP3).
Dalam Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010, Ketua Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD menyatakan;
1.
Pertama, Pasal 1 angka 18, Pasal 16,
Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23
ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta
Pasal 75 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2.
Kedua, Pasal 1 angka 18, Pasal 16,
Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23
ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta
Pasal 75 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 tidak mempunyai kekuatan mengikat; dan
3.
Ketiga, Memerintahkan agar putusan
ini dimuat dalam Berita Negara selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak Putusan
ini diucapkan.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan
Perikanan (KIARA) Riza Damanik mengatakan, keputusan ini adalah kemenangan
rakyat Indonesia, kemenangan keluarga nelayan. Dengan pembatalkan pasal-pasal
terkait Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), MK telah menegaskan sumber daya
pesisir, laut dan pulau-pulau kecil tidak boleh diprivatisasi (termasuk kepada
asing).
Menurut Riza, pemerintah pusat, pemerintah daerah, DPR/DPRD,
dan aparatur hukum lainnya di 33 provinsi harus mematuhi dan menghentikan
pelbagai praktik komersialisasi dan privatisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil. Pasalnya, putusan MK memiliki kekuatan hukum tetap.
Dengan putusan MK itu, kata Riza, negara harus
menyelenggarakan kewajiban konstitusionalnya guna memenuhi dan melindungi
hak-hak konstitusi nelayan dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, tak ada jalan lain negara selain
menjalankan amanah Pasal 28 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Masalah utama yang menjadi pertimbangan MK dalam membatalkan
beberapa pasal dalam UU No. 27 tahun 2007 adalah konstitusionalitas pasal-pasal
tersebut yang dianggap bertentangan dengan 12 (dua belas) norma konstitusi
dalam UUD 1945. MK berpendapat bahwa pemanfaatan Wilayah pasir dan pulau-pulau
kecil dengan instrument HP-3 tidak dapat memberikan jaminan untuk
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ada 4 (mpat) tolak ukur yang digunakan
oleh MK dalam mengukur manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
tersebut:
1.
Kemanfaatan sumber daya alam bagi
rakyat;
2.
Tingkat pemerataan manfaat sumber
daya alam bagi rakyat;
3.
Tingkat partisipasi rakyat dalam
menentukan manfaat ssumber daya alam
4.
Penghormatan terhadap hak rakyat
secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam
Menurut MK, pemberian HP-3 oleh pemerintah kepada pihak
swasta adalah bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945
yang menyatakan “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsp kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional.” MK menyatakan, pemberian HP3 melanggar prinsip
demokrasi ekonomi karena akan mengakibatkan wilayah perairan pesisir dan
pulau-pulau kecil menjadi wilayah HP3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar.
Sebaliknya, bagi masyarakat nelayan tradisional yang sebagian besar berdiam di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan menggantungkan hidup dan kehidupannya
pada sumber daya pesisir akan tersingkir.
Mencermati dasar pertimbangan dan putusan MK tentang HP-3
yang dinilai oleh MK melanggar konstitusi tersebut, pada intinya menyangkut 2
(dua) hal mendasar, yaitu:
Kekuasaan negara atas pengelolaan sumber daya alam termasuk
wilayyah peesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945, yang menurut penilaian MK akan beralih kepada pihak swasta dengan
pemberian HP-3.
Kekhawatiran akan tertutupnya akses masyarakat pesisir dalam
pengelolaan wiilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan potensi hilangnya hak-hak
masyarakat pesisir dan terusirnya masyarakat pesisir dari wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil serta kearifan-kearifan lokal yang sudah dipraktikkan secara
turun temurun dengan pemberian HP-3 dalam UU pesisir terrsebut,
diakibatkan akan munculnya dominasi swasta sebagai pemilik modal besar yang
dianggap mampu memenuhi semua persyaratan dalam pemberian HP-3 tersebut,
dimana pemberian HP-3 dapat saja meliputi wilayah yang telah dikuasai dan
dikelola oleh masyarakat pesisir secara turun-temurun.
Yang seharusnya dilakukan Pemerintah adalah memperketat
pemberian izin kepada pihak swasta dalam pengelolaan HP-3 dan meningkatkan
pengawasan di daerah pesisir dengan melibatkan warga sekitar pesisir sebagai
pengawas. Serta melakukan revisi kontrak kerja sama dengan pihak swasta dengan
memperhatikan klausula pembagian hasil antara pemerintah dan swasta dan
menekankan pada pembagian yang adil sehingga tidak banyak merugikan negara dan
sejalan dengan maksud Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Jadi, masih relevankah proyek reklamasi Jakarta ?
Sumber :
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4dfb6eee04a51/putusan-mk-tegaskan-hak-konstitusional-nelayan
http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2014_1.pdf
http://news.liputan6.com/read/2485450/tolak-reklamasi-1000-nelayan-mulai-bergerak-segel-pulau-g
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160417111206-20-124459/tolak-reklamasi-ratusan-nelayan-segel-pulau-g/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar