Minggu, 17 April 2016

Payung (Hukum) Teduh Nelayan Jakarta, "Analisis UU No 1 tahun 2014"



Payung (Hukum) Teduh Nelayan Jakarta, "Analisis UU No 1 tahun 2014"


Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945)

Reklamasi pantai di utara Jakarta masih menjadi polemik. Sejumlah nelayan masih menolak rencana Pemprov DKI Jakarta tersebut.  "Kami kawan-kawan nelayan ingin proyek reklamasi berhenti. Ini aksi damai kami secara simbolis akan menyegel pulau," kata Sekretaris Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)  Kuat Wibisono di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta, Minggu (17/4/2016). KNTI menilai proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta telah menurunkan pendapatan nelayan sekitar 40 hingga 50 persen akibat memburuknya kualitas laut Jakarta. Ketua Dewan Pembina KNTI Chalid Muhammad menjelaskan nelayan butuh lokasi tangkap ikan yang lebih jauh. Selain itu, kegiatan pembangunan di pulau-pulau reklamasi juga mengakibatkan laju arus air melambat hingga berpotensi menggenangi kampung nelayan.
Jika reklamasi ini merugikan mengapa izin pembangunan bisa diperoleh? Apakah tidak ada payung hukum yang melindungi hak nelayan ?
Jawabannya ada, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan sidang Makamah Konstitusi yang menghasilkan Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 Tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3).
Dalam Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD menyatakan;
1.       Pertama, Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.       Kedua, Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mempunyai kekuatan mengikat; dan
3.       Ketiga, Memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak Putusan ini diucapkan.
 Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Riza Damanik mengatakan, keputusan ini adalah kemenangan rakyat Indonesia, kemenangan keluarga nelayan. Dengan pembatalkan pasal-pasal terkait Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), MK telah menegaskan sumber daya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil tidak boleh diprivatisasi (termasuk kepada asing).
Menurut Riza, pemerintah pusat, pemerintah daerah, DPR/DPRD, dan aparatur hukum lainnya di 33 provinsi harus mematuhi dan menghentikan pelbagai praktik komersialisasi dan privatisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pasalnya, putusan MK memiliki kekuatan hukum tetap.
Dengan putusan MK itu, kata Riza, negara harus menyelenggarakan kewajiban konstitusionalnya guna memenuhi dan melindungi hak-hak konstitusi nelayan dan masyarakat  yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, tak ada jalan lain negara selain menjalankan amanah Pasal 28 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Masalah utama yang menjadi pertimbangan MK dalam membatalkan beberapa pasal dalam UU No. 27 tahun 2007 adalah konstitusionalitas pasal-pasal tersebut yang dianggap bertentangan dengan 12 (dua belas) norma konstitusi dalam UUD 1945. MK berpendapat bahwa pemanfaatan Wilayah pasir dan pulau-pulau kecil dengan instrument HP-3 tidak dapat memberikan jaminan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ada 4 (mpat) tolak ukur yang digunakan oleh MK dalam mengukur manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tersebut:
1.       Kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat;
2.       Tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat;
3.       Tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat ssumber daya alam
4.       Penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam
Menurut MK, pemberian HP-3 oleh pemerintah kepada pihak swasta adalah bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsp kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” MK menyatakan, pemberian HP3 melanggar prinsip demokrasi ekonomi karena akan mengakibatkan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah HP3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar. Sebaliknya, bagi masyarakat nelayan tradisional yang sebagian besar berdiam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan menggantungkan hidup dan kehidupannya pada sumber daya pesisir akan tersingkir.
Mencermati dasar pertimbangan dan putusan MK tentang HP-3 yang dinilai oleh MK melanggar konstitusi tersebut, pada intinya menyangkut 2 (dua) hal mendasar, yaitu:
Kekuasaan negara atas pengelolaan sumber daya alam termasuk wilayyah peesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menurut penilaian MK akan beralih kepada pihak swasta dengan pemberian HP-3.
Kekhawatiran akan tertutupnya akses masyarakat pesisir dalam pengelolaan wiilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan potensi hilangnya hak-hak masyarakat pesisir dan terusirnya masyarakat pesisir dari wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta kearifan-kearifan lokal yang sudah dipraktikkan secara turun temurun dengan  pemberian HP-3 dalam UU pesisir terrsebut, diakibatkan akan munculnya dominasi swasta sebagai pemilik modal besar yang dianggap mampu memenuhi semua  persyaratan dalam pemberian HP-3 tersebut, dimana pemberian HP-3 dapat saja meliputi wilayah yang telah dikuasai dan dikelola oleh masyarakat pesisir secara turun-temurun.
Yang seharusnya dilakukan Pemerintah adalah memperketat pemberian izin kepada pihak swasta dalam pengelolaan HP-3 dan meningkatkan pengawasan di daerah pesisir dengan melibatkan warga sekitar pesisir sebagai pengawas. Serta melakukan revisi kontrak kerja sama dengan pihak swasta dengan memperhatikan klausula pembagian hasil antara pemerintah dan swasta dan menekankan pada pembagian yang adil sehingga tidak banyak merugikan negara dan sejalan dengan maksud Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Jadi, masih relevankah proyek reklamasi Jakarta ?

Sumber :
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4dfb6eee04a51/putusan-mk-tegaskan-hak-konstitusional-nelayan
http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2014_1.pdf
http://news.liputan6.com/read/2485450/tolak-reklamasi-1000-nelayan-mulai-bergerak-segel-pulau-g
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160417111206-20-124459/tolak-reklamasi-ratusan-nelayan-segel-pulau-g/


   



Tidak ada komentar:

Posting Komentar