Minggu, 24 April 2016

Mengupas Reklamasi Jakarta



Mengupas Reklamasi Jakarta

Jakarta adalah ibukota negara Indonesia yang  terletak di latitude 5° 19' 12" - 6° 23' 54" LS dan longitude 106° 22' 42" - 106° 58' 18" BT. Sembilan puluh persen wilayah Jakarta adalah perairan 6.997,50 km2 dan luas daratannya adalah 661,52 km2 dengan potensi wilayah perairan yang besar wajar jika ada reklamasi Jakarta. Sebenarnya bagaimana sejarah reklamai Jakarta? Dan serba-serbinya??
Reklamasi bukan hal baru bagi Jakarta. Kegiatan untuk meningkatkan manfaat sumber daya lahan dengan pengurukan dan pengeringan lahan atau drainase tersebut sudah mulai dilakukan sejak 1980-an.
PT Harapan Indah mereklamasi kawasan Pantai Pluit selebar 400 meter dengan penimbunan. Daerah baru yang terbentuk digunakan untuk permukiman mewah Pantai Mutiara.
Dalam catatan pemberitaan Kompas, PT Pembangunan Jaya melakukan reklamasi kawasan Ancol sisi utara untuk kawasan industri dan rekreasi sekitar tahun 1981.
Sepuluh tahun kemudian, giliran hutan bakau Kapuk yang direklamasi untuk kawasan permukiman mewah yang sekarang dikenal dengan sebutan Pantai Indah Kapuk. Tahun 1995, menyusul reklamasi yang digunakan untuk industri, yakni Kawasan Berikat Marunda.
Saat itu, kegiatan reklamasi di empat lokasi tersebut sudah menimbulkan perdebatan. Sejumlah pihak menuduh reklamasi Pantai Pluit mengganggu sistem PLTU Muara Karang. Diduga, ini terjadi akibat adanya perubahan pola arus laut di areal reklamasi Pantai Mutiara yang berdampak terhadap mekanisme arus pendinginan PLTU.
Tak hanya itu, tenggelamnya sejumlah pulau di perairan Kepulauan Seribu diduga akibat dari pengambilan pasir laut untuk menimbun areal reklamasi Ancol. Namun, dampak negatif tersebut tidak diindahkan. Upaya reklamasi dipilih untuk menambah luas daratan ibu kota negara.
Wiyogo Atmodarminto, Gubernur DKI Jakarta waktu itu, menyatakan reklamasi ke utara Jakarta dipilih karena perluasan ke arah selatan sudah tidak memungkinkan lagi.
Rencana reklamasi seluas 2.700 hektar tersebut pertama kali dipaparkan di hadapan Presiden Soeharto, Maret 1995. Selain untuk mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta, proyek reklamasi juga untuk mengembangkan wilayah Jakarta Utara yang tertinggal dibandingkan empat wilayah lain.
Untuk memuluskan rencana tersebut, disahkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995.
Namun, munculnya dua kebijakan ini "menabrak" Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005. Di dalam dokumen RUTR tersebut tidak disebutkan mengenai rencana reklamasi.
Tarik ulur kebijakan
Sejak 1995 tersebut terjadi "perang" aturan antara Pemprov DKI Jakarta dan Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup dalam berbagai kebijakannya menyebutkan bahwa reklamasi tidak layak dilakukan karena akan merusak lingkungan. Sementara Pemprov DKI Jakarta bersikeras agar reklamasi tetap dilakukan.
Tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan, proyek reklamasi tidak bisa dilakukan karena Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kaidah penataan ruang dan ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan.
Ketidaklayakan tersebut disampaikan dengan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara.
Surat keputusan tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI. Tahun 2007, enam pengembang yang mendapat hak reklamasi menggugat Menteri Lingkungan Hidup ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).
Mereka beralasan sudah melengkapi semua persyaratan untuk reklamasi, termasuk izin amdal regional dan berbagai izin lain. PTUN memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan banding atas keputusan itu, tetapi PTUN tetap memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.
Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan kasasi ke MA. Pada 28 Juli 2009, MA memutuskan mengabulkan kasasi tersebut dan menyatakan, reklamasi menyalahi amdal.
Keputusan baru MA
Tahun 2011, keadaan berbalik. MA mengeluarkan putusan baru (No 12/PK/TUN/2011) yang menyatakan, reklamasi di Pantai Jakarta legal. Namun, putusan MA tersebut tidak serta-merta memuluskan rencana reklamasi.
Untuk melaksanakan reklamasi, Pemprov DKI Jakarta harus membuat kajian amdal baru untuk memperbarui amdal yang diajukan tahun 2003. Juga dengan pembuatan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang melibatkan pemda di sekitar teluk Jakarta.
Saat rencana reklamasi terkatung-katung oleh berbagai aturan yang menghadangnya, tahun 2012 Presiden SBY menerbitkan Perpres No 122 Tahun 2012. Perpres mengenai reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut menyetujui praktik pengaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta.
Tahun 2014, Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo kembali mengukuhkan rencana reklamasi. Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2013 keluar pada Desember 2014 dengan pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.
Ide moratorium 
Namun, Kementerian Kelautan dan Perikanan menilai, kebijakan tersebut melanggar karena kewenangan memberikan izin di area laut strategis berada di tangan kementeriannya meski lokasinya ada di wilayah DKI Jakarta.
Tak hanya itu, Kementerian Koordinator Kemaritiman juga meminta pengembang dan Pemprov DKI Jakarta membuat kajian ilmiah rencana reklamasi Pulau G di Jakarta Utara. Kajian ilmiah itu perlu dijelaskan kepada publik sehingga publik tahu detail perencanaan dan bisa mengawasi proyek reklamasi.
Akhir September 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengkaji penghentian sementara (moratorium) reklamasi. Reklamasi diusulkan hanya untuk pelabuhan, bandara, dan listrik. Di luar itu tidak boleh ada reklamasi untuk hotel, apartemen, mal, dan sebagainya.
Moratorium yang masih berupa kajian tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI Jakarta untuk tetap melaksanakan reklamasi.
Akhir Oktober 2015, Pemprov DKI menyatakan mulai mempersiapkan tahap awal pengembangan pulau-pulau reklamasi. Pulau O, P, dan Q akan diintegrasikan dengan Pulau N untuk pembangunan Port of Jakarta.

Pro reklamasi
Wacana reklamasi 17 pulau ini terus bergulir sejak zaman Orde Baru. Namun, sudah 10 tahun bergulir, reklamasi tersebut urung dilakukan. Berbagai pendapat mendukung dan menentang rencana reklamasi tersebut.
Reklamasi untuk menambah ruang pembangunan Jakarta merupakan salah satu pendapat yang mendukung proyek reklamasi.
Kawasan selatan Jakarta sudah tidak mungkin dikembangkan karena fungsinya sebagai daerah konservasi. Juga dengan wilayah timur dan barat yang sudah telanjur padat penduduk karena sejak 1985 pengembangan wilayah Jakarta sudah diarahkan ke timur dan barat.
Alasan lain adalah untuk mengembangkan kawasan utara Jakarta. Pengembang yang membangun kawasan tersebut akan menghasilkan pajak dan retribusi. Selanjutnya pemasukan baru PAD DKI Jakarta tersebut digunakan untuk memperbaiki kawasan kumuh.
Namun, justru alasan ini dipertanyakan banyak pihak. Jika ingin menambah ruang pembangunan, bukan dengan melakukan pembangunan horizontal ke wilayah utara.
Pembangunan vertikal dengan memperhatikan kaidah lingkungan secara perlahan harus diterapkan. Selain itu, arus migrasi manusia ke Jakarta juga perlahan perlu ditahan dan diarahkan ke wilayah mitra (Bodetabek).
Penggunaan area reklamasi untuk subsidi silang pemasukan daerah juga merupakan langkah tidak tepat.
Seberapa besar pengawasan yang dilakukan Pemprov DKI untuk memastikan para pengembang membayar pajak dan retribusi? Pengembang yang telah menginvestasikan banyak uang akan membatasi pemasukannya bagi pajak dan retribusi pemda.
Berbagai pendapat mendukung bahwa reklamasi berdampak positif pada lingkungan. Reklamasi berupa pulau akan memperlancar aliran banjir ke laut, berfungsi sebagai bendungan untuk menahan kenaikan permukaan air laut, dan sebagai sumber air bersih Jakarta Utara.
Juga ada pendapat bahwa reklamasi akan memecah gelombang dan mengurangi risiko abrasi. Pendapat tersebut memerlukan kajian lebih lanjut.
Kontra reklamasi
Pihak yang menentang akan mengaitkan reklamasi berdampak negatif pada lingkungan. Sebut saja akan mengakibatkan ekosistem pesisir terancam punah.
Kehancuran itu antara lain berupa hilangnya berbagai jenis pohon bakau di Muara Angke, punahnya ribuan jenis ikan, kerang, kepiting, dan berbagai keanekaragaman hayati lain.
Selain itu, reklamasi juga akan memperparah potensi banjir di Jakarta karena mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan Jakarta Utara.
Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai, dan merusak kawasan tata air.
Tak hanya persoalan lingkungan, reklamasi berdampak juga pada masalah sosial, seperti pada kehidupan nelayan Jakarta Utara.
Reklamasi pantura Jakarta diyakini menyebabkan 125.000 nelayan tergusur dari sumber kehidupannya dan menyebabkan nelayan yang sudah miskin menjadi semakin miskin.
Terakhir, muncul pertanyaan substansial: reklamasi di Teluk Jakarta itu diperuntukkan bagi siapa?
Tidak semua kelas ekonomi masyarakat Jakarta bisa menikmati reklamasi tersebut. Reklamasi yang dibangun pengembang dengan dana triliunan rupiah tentu akan dijual dengan harga mahal. Hanya golongan ekonomi atas yang mungkin akan menikmati reklamasi tersebut.
------------

Artikel ini pernah dipublikasikan di Harian Kompas, 11 November 2015, dengan judul "Dilema Reklamasi Pantai Jakarta". 
(M Puteri Rosalina/Litbang Kompas)

Minggu, 17 April 2016

Payung (Hukum) Teduh Nelayan Jakarta, "Analisis UU No 1 tahun 2014"



Payung (Hukum) Teduh Nelayan Jakarta, "Analisis UU No 1 tahun 2014"


Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945)

Reklamasi pantai di utara Jakarta masih menjadi polemik. Sejumlah nelayan masih menolak rencana Pemprov DKI Jakarta tersebut.  "Kami kawan-kawan nelayan ingin proyek reklamasi berhenti. Ini aksi damai kami secara simbolis akan menyegel pulau," kata Sekretaris Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)  Kuat Wibisono di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta, Minggu (17/4/2016). KNTI menilai proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta telah menurunkan pendapatan nelayan sekitar 40 hingga 50 persen akibat memburuknya kualitas laut Jakarta. Ketua Dewan Pembina KNTI Chalid Muhammad menjelaskan nelayan butuh lokasi tangkap ikan yang lebih jauh. Selain itu, kegiatan pembangunan di pulau-pulau reklamasi juga mengakibatkan laju arus air melambat hingga berpotensi menggenangi kampung nelayan.
Jika reklamasi ini merugikan mengapa izin pembangunan bisa diperoleh? Apakah tidak ada payung hukum yang melindungi hak nelayan ?
Jawabannya ada, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan sidang Makamah Konstitusi yang menghasilkan Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 Tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3).
Dalam Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD menyatakan;
1.       Pertama, Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.       Kedua, Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mempunyai kekuatan mengikat; dan
3.       Ketiga, Memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak Putusan ini diucapkan.
 Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Riza Damanik mengatakan, keputusan ini adalah kemenangan rakyat Indonesia, kemenangan keluarga nelayan. Dengan pembatalkan pasal-pasal terkait Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), MK telah menegaskan sumber daya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil tidak boleh diprivatisasi (termasuk kepada asing).
Menurut Riza, pemerintah pusat, pemerintah daerah, DPR/DPRD, dan aparatur hukum lainnya di 33 provinsi harus mematuhi dan menghentikan pelbagai praktik komersialisasi dan privatisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pasalnya, putusan MK memiliki kekuatan hukum tetap.
Dengan putusan MK itu, kata Riza, negara harus menyelenggarakan kewajiban konstitusionalnya guna memenuhi dan melindungi hak-hak konstitusi nelayan dan masyarakat  yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, tak ada jalan lain negara selain menjalankan amanah Pasal 28 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Masalah utama yang menjadi pertimbangan MK dalam membatalkan beberapa pasal dalam UU No. 27 tahun 2007 adalah konstitusionalitas pasal-pasal tersebut yang dianggap bertentangan dengan 12 (dua belas) norma konstitusi dalam UUD 1945. MK berpendapat bahwa pemanfaatan Wilayah pasir dan pulau-pulau kecil dengan instrument HP-3 tidak dapat memberikan jaminan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ada 4 (mpat) tolak ukur yang digunakan oleh MK dalam mengukur manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tersebut:
1.       Kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat;
2.       Tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat;
3.       Tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat ssumber daya alam
4.       Penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam
Menurut MK, pemberian HP-3 oleh pemerintah kepada pihak swasta adalah bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsp kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” MK menyatakan, pemberian HP3 melanggar prinsip demokrasi ekonomi karena akan mengakibatkan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah HP3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar. Sebaliknya, bagi masyarakat nelayan tradisional yang sebagian besar berdiam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan menggantungkan hidup dan kehidupannya pada sumber daya pesisir akan tersingkir.
Mencermati dasar pertimbangan dan putusan MK tentang HP-3 yang dinilai oleh MK melanggar konstitusi tersebut, pada intinya menyangkut 2 (dua) hal mendasar, yaitu:
Kekuasaan negara atas pengelolaan sumber daya alam termasuk wilayyah peesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menurut penilaian MK akan beralih kepada pihak swasta dengan pemberian HP-3.
Kekhawatiran akan tertutupnya akses masyarakat pesisir dalam pengelolaan wiilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan potensi hilangnya hak-hak masyarakat pesisir dan terusirnya masyarakat pesisir dari wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta kearifan-kearifan lokal yang sudah dipraktikkan secara turun temurun dengan  pemberian HP-3 dalam UU pesisir terrsebut, diakibatkan akan munculnya dominasi swasta sebagai pemilik modal besar yang dianggap mampu memenuhi semua  persyaratan dalam pemberian HP-3 tersebut, dimana pemberian HP-3 dapat saja meliputi wilayah yang telah dikuasai dan dikelola oleh masyarakat pesisir secara turun-temurun.
Yang seharusnya dilakukan Pemerintah adalah memperketat pemberian izin kepada pihak swasta dalam pengelolaan HP-3 dan meningkatkan pengawasan di daerah pesisir dengan melibatkan warga sekitar pesisir sebagai pengawas. Serta melakukan revisi kontrak kerja sama dengan pihak swasta dengan memperhatikan klausula pembagian hasil antara pemerintah dan swasta dan menekankan pada pembagian yang adil sehingga tidak banyak merugikan negara dan sejalan dengan maksud Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Jadi, masih relevankah proyek reklamasi Jakarta ?

Sumber :
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4dfb6eee04a51/putusan-mk-tegaskan-hak-konstitusional-nelayan
http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2014_1.pdf
http://news.liputan6.com/read/2485450/tolak-reklamasi-1000-nelayan-mulai-bergerak-segel-pulau-g
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160417111206-20-124459/tolak-reklamasi-ratusan-nelayan-segel-pulau-g/